Kau tau bagaimana rasanya ditolak cintanya bahkan sebelum kau
menyatakan perasaan cintamu? Kau tau tidak? Mau aku ceritakan kisahku.
Kisah yang membuatku menangis semalaman. Kisah yang membuatku trauma
dengan satu kata itu, ya… cinta!
@@@
“Sitha, kamu gak sarapan dulu?”
“Gak Mam, aku buru-buru.” Aku cuma mengambi selembar roti tawar dan mengecup pipi mama lalu cepat-cepat menuju halaman depan.
“Pak, kuncinya mana? Aku bawa sendiri aja hari ini.” Aku menepuk pundak seorang pria dengan rambut yang sudah banyak yang memutih itu, dia Pak Dido sopir keluargaku tampak sedang mengelap kaca jendela
mobilku, jazz merah.
Pak Dido pun merogoh saku celananya dan memberika kunci mobilku, “sudah ijin nyonya Non?”
“Udah Pak,” padahal aku lupa sih bilang mama barusan. Ah, biarin deh. Udah telat ke sekolah hari ini. Hari pertama masuk SMA dan aku gak mungkin juga kan telat. Kalau Pak Dido sih sampai aku jungkir balik juga gak bakal mau disuruh ngebut, makanya kalau udah darurat begini mending nyetir sendiri bisa nyesuain sama situasi.
Aku pun langsung masuk dan memasang seat belt, menyalakan mesin mobil dan menginjak gas membawa si merah keluar halaman rumahku yang hampir sama lebarnya dengan lapang bola di kampung-kampung.
Masih segambreng lampu merah lagi yang harus aku terobos supaya bisa sampai sekolah baruku tepat waktu. Aku sudah tidak sabar ingin menginjak gas, saying di depan sana ada petugas dengan seragam abu-abu dan peluitnya. Aku pun terpaksa ikutan menunggu kelap-kelip merah jadi hijau dulu.
@@@
Syukurlah, gak telat. Malah aku masih punya lima menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Tapi namanya juga Indonesia, hari pertama pasti buat kenalan dulu deh. Ya, You know lah Negara kita kan kental dengan adat budaya sopan santun, tatakrama dan ramah tamah-nya.
Tapi sepertinnya anak-anak di kelas sudah siap sejak beberapa menit sebelum aku dating. Malah mungkin ada yang sudah sampai kelas sebelum aku keluar dari selimut pagi ini. Saking semangatnya jadi siswa baru dengan seragam putih abu-abu tentunya.
Hanya tinggal meja di pojok dekat meja guru yang kosong. Aku pun berjalan ke sana sambil menenteng tas ku, aku setengah melempar tas dan menjatuhkan tubuhku di kursinya yang gak empuk ini. Baru beberapa detik duduk ada yang mencolek dari belakang. Aku menoleh, “sapaku duluan sambil menyambut jabatan tangannya.
“Akela, kamu?”
“Shita,” kataku tersenyum menjejerkan gigi berkawat yang baru aku pasang kemarin lusa, warna biru muda.
“Dari SMP mana?” tanya Akela lagi, sepertinya dia ada keturunan bule-bule gitu deh. Rambutnya pirang alami dan matanya hm… abu-abu.
“Kasih Bunda, kamu?” aku pun jadi memutar dudukku menghadap belakang.
“Aku dari Surabaya.”
“Oh, orang Surabaya gue kira bule?” kataku setengah tertawa. Dia membalas dengan senyuman manisnya.
Sepertinya rambutnya memang pirang asli tapi matanya itu efek softlense setelah aku perhatikan.
Gak lama ada seorang cowok masuk ke kelas caranya membuka pintu membuat semua mata tertuju padanya, ya aku juga. Dia langsung menuju ke bagian belakang masih ada satu bangku kosong tepat di belakang. Matanya hanya menatap lurus tanpa sedikit pun menoleh kiri kanan atau belakangnya. Mataku tak berhenti mengikuti gerakkan tubuhnya.
Siapa dia? Hatiku bertanya kecil
@@@
Harusnya sih aku belum bisa dapat SIM ya, tapi sekarang apa sih yang gak bisa asal ada uang uanga uang. J jadi karena aku suka bandel bawa kabur mobil Papa, papa pun ngebeliin aku satu mobil dan membuatkan SIM tembak buatku. Aku memang harus berterimakasih pada Tuhan yang udah ngasih seseuatunya serba berlebihan buatku. Keluarga yang nyaris gak pernah ada masalah keluarga, aku anak tunggal direktur utama perusahan plastic, dan mamaku Ibu rumah tangga yang selalu memasangkan dasi saat suaminya akan berangkat ke kantor. Mungkin benar orang bilang tak ada yang sempurna. Tapi Ah, pokoknya hidupku ini bisa dibilang hampir sempurna. Hanya satu, aku ingin berkenalan dengan yang namanya cinta. Seringkali iri dengan teman-teman yang menceritakan satu kata itu, cinta.
@@@
“Kenapa Tha? Kok belum pulang, nunggu jemputan?” Akela membuka kaca jendela mobilnya yang berhenti tepat di sampingku.
“Ya, nih Pak Dido mana tau deh. Huh sebel, kan enakan bawa mobil sendiri. Ini sekolah jadul banget sih masa siswanya gak boleh bawa mobil sendiri?” kataku mulai ngomel sendiri.
“Ahaha… aku temenin deh,” Akela turun dari mobilnya dan menghampiriku setelah entah bilang apa dulu pada sopirnya sampai si sopir kembali ke parkiran.
“eh, gak usah kali. Lo balik aja duluan.” Aku memamerkan lagi gigi berkawatku.
“Gak pa-pa,” katanya menepuk pundakku pelan. Dia memang teman yang baik. Ya, aku tahu sejak pertama ketemu dengannya.
Ponsel di saku kemejaku bergetar, “Hallo?” kataku setelah menekan tombol dial.
“Non, saya ndak bisa jemput. Tiba-tiba mobilnya ngadat Non. Jadi Bapak minta saya ke bengkel, dan sepertinya lama.” SUara Pak Dido di seberang sana.
“Ah ya udah deh, aku naik taksi.” Aku pun menutup ponsel slideku dan kembali memasukkannya ke saku.
“Sial deh, gak dijekmput,” kataku melipat muka jadi empat.
“Yah, gimana dong? Kamu mau nebeng?”
“Eh, rumah kita kan gak searah.” Kataku sambil menggaruk kepala yang gak gatal. Gak mau ngerepotin Akela deh.
Tapi, di saat yang gak berselang lama, sebuah motor sport hitam melintas di depan kami. Akela pun melambaikan tangannya. Dan yang punya motor dan motor hitamnya berhenti di depan kamu, kaca helmnya dibuka.
“Eh dia kan, anak yang duduk di bangku belakang.” Aku bergumam pelan, sepertinya Akela gak dengar.
“Lo bareng Ziyo aja?” Akela tampak sudah kenal dengan Ziyo padahal kami baru sekelas seminggu ini. Ya
Akela anaknya memang ramah dan gampang akrab dengan siapa pun.
“Eh tapi,” aku menatap sebentar ke Ziyo, ya aku saja baru tahu namanya.
“Kalau mau naik taksi harus ke depan dulu, ke depannya kalau gak naik ojek jalan kaki jauh. Kalau mau dari sini naik angkot tapi kan emang enak naik angkot?” Akela tampak membujukku.
“Hm…” aku mengetukkan jari di ujung hidung.
“TApi gak ada helm cadangan, dan paling Cuma bisa bareng sampai pertigaan, di sana banyak taksi.” Kata Ziyo dari balik helmnya. Aku pun mengangguk dan langsung duduk di belakangnya. Rasanya tanganku sudah sangat gatal saat motor mulai melaju, gatal ingin melingkar di pinggangnya. Cuma hatiku terus-terusan berteriak bilang, jangan!
@@@
Ah, rasanya seperti mimpi di siang bolong. Sudah satu minggu aku selalu memperhatikan bangku belakang itu. Dan siapa tau kalau akhirnya bisa satu motor dengannya. Akela aku harus berterimaksih padamu. Seharian sehabis pulang sekolah tadi rasanya mulutku tak bisa di stop untuk berhenti senyum-senyum.
@@@
Iseng-iseng nanya ke Akela nomer teleponnya Ziyo dan taraa… dapet deh J gak buang waktu aku pun langsung menghubunginya. Awalnya dia gak tau siapa aku, harus dijelasin detail dulu baru ngeh. Aku pun ngucapin makasih karena beberapa hari dulu dia sempet jadi ojek dadakanku. Tapi sikapnya kalau di sekolah biasa aja gak ada sedikit pun respon. Kalau pun nyapa harus aku duluan yang nyapa. Tapi itu mungkin yang bikin aku jadi pensaraan sama dia.
Walau pun sampai detik ini aku belum nemuin something yang bikin aku betah lama-lama ngeliatin dia. Matanya? Biasa aja, cakep, hm… juga biasa-biasa aja. Nothing special! Cuma aku masih aja penasaran gimana raut wajahnya saat tertawa ya, habis sejak melihatnya waktu hari pertama seakli pun belum pernah melihatnya senyum,
@@@
“Ngapain?” aku menepuk pundak Akela, hari minggu ini aku berkunjung ke rumahnya. Sudah dari saat jam makan siang tadi aku di sini samapai sekarang jam menunjukkan pukul tiga sore. Akela sedang berkutat dengan laptop pinknya.
“Chatting,” katanya masih serius menekuni layar laptopnya. Aku tidak begitu tertarik dan lebih suka dengan rak koleksi komiknya Akela.
“Aduh, kebelet.” Sekitar lima menit kemudian, “Aku ke toilet dulu ya Tha,” katanya tanpa mematikkan laptopnya dan buru-buru ke kamar mandi.
Satu menit dua menit, Akela lama juga, jangan-jangan dia buang air besar. Aku pun agak penasaran dengan isi laptopnya yang sekarang sudah ada di mode stand by. Aku menyentuh kursor dan menggerakkanya dan mengaktifkan lagi layar laptopnya. Layar chattingnya masih aktif. Aku pun iseng mulai menelusuri nama-nama yang online. Eh, ada id-nya Ziyo. Aku mengernyit pelan dan membuka jendela chatting dengannya.
Me : Hai…
Jujur, agak gemetar waktu mengetikkan satu kata paling sederhana itu di keyboard. Tapi gak selang dua detik saja.
Ziyo : ya
Hah… dia balas. Ak pun kembali mengetikan sesuatu. Basa-basi lainnya pun berlanjut. Rasanya udah cukup lama tapi Akela belum dating juga aku pun meneruskan chattingku saat merasa dia lebih ramah di dunia maya. Ada yang mau aku tanyakan.
Me : Boleh nanya?
Ziyo : apa?
Me : hm… lo kenal Sitha?
Ya, aku chatting sebagai Akela barusan.
Ziyo : kenapa? Temen lo kan?
Me : ya, hm… menurut lo dia gimana?”
Ziyo : baik
Me : Oia, dia tuh udah lama banget jomblo.
Ziyo : terus?
Me : kok terus sih? Ya udah gak ada terusannya. Lo mau daftar jadi pacarnya
Ziyo : ahaha… ada-ada aja lo
Me : kok ketawa. Bukan tipe lo.
Ziyo : gak
Me : terus lo udah punya pacar?
Ziyo : belum
Me : ya, abisan gue suka kesian aja liat dia jomblo. Gue kira lo bisa bantu.
Ziyo : bantu apa?
Me : ngilangin status jomblonya
Ziyo : wah, sori kayaknya gue gak bisa.
Jariku pun mendadak lemas dan gek bisa menari-nari di keyboard lagi. Aku langsung menutup jendela chat dengan Ziyo dan membuat laptop kembali ke stand by mode-nya. Gak lama Akela dating sambil memegangi perutnya.
“maaf lama, aku diare nih,” katanya sambil meringis. Saat itu aku Cuma mengangguk dari balik sampul komik yang aku pegang. Padahal siapa tahu dibalik itu aku sedang berusaha keras menahan agar beda cair dalam mata tidak menetes. Aku menahan sekuat tenaga. Kalimat chat etarkhir dari Ziyo masih bergelantungan dan membuatku gak nyaman sampai detik ini. wah, sori kayaknya gue gak bisa. Kalimat itu mirip kaset yang terus-terusan di putar ulang oleh otakku. Aku mulai sesenggukkan tanpa suara di balik buku komik yang menutupi wajahku. Rasa apa ini? Seperti ada duri kecil yang banyak sekali dan meyeruak masuk ke dalam hati. Apa ini perasaan ditolak sebelum menyatakan cinta? Apa seperti ini perasaannya?
@@@
Sekarang kau sudah tahu bagaimana rasanya ditolak sebelum menyatakan perasaanmu? Itu lebih buruk dari apa pun kan? Ah, ya setidaknya buatku sekarang. Lalu apa akan ada seseorang yang kembali mengajarkan aku kalau… cinta… perasaan cinta, itu memang indah? Apa akan ada…
@@@
“Sitha, kamu gak sarapan dulu?”
“Gak Mam, aku buru-buru.” Aku cuma mengambi selembar roti tawar dan mengecup pipi mama lalu cepat-cepat menuju halaman depan.
“Pak, kuncinya mana? Aku bawa sendiri aja hari ini.” Aku menepuk pundak seorang pria dengan rambut yang sudah banyak yang memutih itu, dia Pak Dido sopir keluargaku tampak sedang mengelap kaca jendela
mobilku, jazz merah.
Pak Dido pun merogoh saku celananya dan memberika kunci mobilku, “sudah ijin nyonya Non?”
“Udah Pak,” padahal aku lupa sih bilang mama barusan. Ah, biarin deh. Udah telat ke sekolah hari ini. Hari pertama masuk SMA dan aku gak mungkin juga kan telat. Kalau Pak Dido sih sampai aku jungkir balik juga gak bakal mau disuruh ngebut, makanya kalau udah darurat begini mending nyetir sendiri bisa nyesuain sama situasi.
Aku pun langsung masuk dan memasang seat belt, menyalakan mesin mobil dan menginjak gas membawa si merah keluar halaman rumahku yang hampir sama lebarnya dengan lapang bola di kampung-kampung.
Masih segambreng lampu merah lagi yang harus aku terobos supaya bisa sampai sekolah baruku tepat waktu. Aku sudah tidak sabar ingin menginjak gas, saying di depan sana ada petugas dengan seragam abu-abu dan peluitnya. Aku pun terpaksa ikutan menunggu kelap-kelip merah jadi hijau dulu.
@@@
Syukurlah, gak telat. Malah aku masih punya lima menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Tapi namanya juga Indonesia, hari pertama pasti buat kenalan dulu deh. Ya, You know lah Negara kita kan kental dengan adat budaya sopan santun, tatakrama dan ramah tamah-nya.
Tapi sepertinnya anak-anak di kelas sudah siap sejak beberapa menit sebelum aku dating. Malah mungkin ada yang sudah sampai kelas sebelum aku keluar dari selimut pagi ini. Saking semangatnya jadi siswa baru dengan seragam putih abu-abu tentunya.
Hanya tinggal meja di pojok dekat meja guru yang kosong. Aku pun berjalan ke sana sambil menenteng tas ku, aku setengah melempar tas dan menjatuhkan tubuhku di kursinya yang gak empuk ini. Baru beberapa detik duduk ada yang mencolek dari belakang. Aku menoleh, “sapaku duluan sambil menyambut jabatan tangannya.
“Akela, kamu?”
“Shita,” kataku tersenyum menjejerkan gigi berkawat yang baru aku pasang kemarin lusa, warna biru muda.
“Dari SMP mana?” tanya Akela lagi, sepertinya dia ada keturunan bule-bule gitu deh. Rambutnya pirang alami dan matanya hm… abu-abu.
“Kasih Bunda, kamu?” aku pun jadi memutar dudukku menghadap belakang.
“Aku dari Surabaya.”
“Oh, orang Surabaya gue kira bule?” kataku setengah tertawa. Dia membalas dengan senyuman manisnya.
Sepertinya rambutnya memang pirang asli tapi matanya itu efek softlense setelah aku perhatikan.
Gak lama ada seorang cowok masuk ke kelas caranya membuka pintu membuat semua mata tertuju padanya, ya aku juga. Dia langsung menuju ke bagian belakang masih ada satu bangku kosong tepat di belakang. Matanya hanya menatap lurus tanpa sedikit pun menoleh kiri kanan atau belakangnya. Mataku tak berhenti mengikuti gerakkan tubuhnya.
Siapa dia? Hatiku bertanya kecil
@@@
Harusnya sih aku belum bisa dapat SIM ya, tapi sekarang apa sih yang gak bisa asal ada uang uanga uang. J jadi karena aku suka bandel bawa kabur mobil Papa, papa pun ngebeliin aku satu mobil dan membuatkan SIM tembak buatku. Aku memang harus berterimakasih pada Tuhan yang udah ngasih seseuatunya serba berlebihan buatku. Keluarga yang nyaris gak pernah ada masalah keluarga, aku anak tunggal direktur utama perusahan plastic, dan mamaku Ibu rumah tangga yang selalu memasangkan dasi saat suaminya akan berangkat ke kantor. Mungkin benar orang bilang tak ada yang sempurna. Tapi Ah, pokoknya hidupku ini bisa dibilang hampir sempurna. Hanya satu, aku ingin berkenalan dengan yang namanya cinta. Seringkali iri dengan teman-teman yang menceritakan satu kata itu, cinta.
@@@
“Kenapa Tha? Kok belum pulang, nunggu jemputan?” Akela membuka kaca jendela mobilnya yang berhenti tepat di sampingku.
“Ya, nih Pak Dido mana tau deh. Huh sebel, kan enakan bawa mobil sendiri. Ini sekolah jadul banget sih masa siswanya gak boleh bawa mobil sendiri?” kataku mulai ngomel sendiri.
“Ahaha… aku temenin deh,” Akela turun dari mobilnya dan menghampiriku setelah entah bilang apa dulu pada sopirnya sampai si sopir kembali ke parkiran.
“eh, gak usah kali. Lo balik aja duluan.” Aku memamerkan lagi gigi berkawatku.
“Gak pa-pa,” katanya menepuk pundakku pelan. Dia memang teman yang baik. Ya, aku tahu sejak pertama ketemu dengannya.
Ponsel di saku kemejaku bergetar, “Hallo?” kataku setelah menekan tombol dial.
“Non, saya ndak bisa jemput. Tiba-tiba mobilnya ngadat Non. Jadi Bapak minta saya ke bengkel, dan sepertinya lama.” SUara Pak Dido di seberang sana.
“Ah ya udah deh, aku naik taksi.” Aku pun menutup ponsel slideku dan kembali memasukkannya ke saku.
“Sial deh, gak dijekmput,” kataku melipat muka jadi empat.
“Yah, gimana dong? Kamu mau nebeng?”
“Eh, rumah kita kan gak searah.” Kataku sambil menggaruk kepala yang gak gatal. Gak mau ngerepotin Akela deh.
Tapi, di saat yang gak berselang lama, sebuah motor sport hitam melintas di depan kami. Akela pun melambaikan tangannya. Dan yang punya motor dan motor hitamnya berhenti di depan kamu, kaca helmnya dibuka.
“Eh dia kan, anak yang duduk di bangku belakang.” Aku bergumam pelan, sepertinya Akela gak dengar.
“Lo bareng Ziyo aja?” Akela tampak sudah kenal dengan Ziyo padahal kami baru sekelas seminggu ini. Ya
Akela anaknya memang ramah dan gampang akrab dengan siapa pun.
“Eh tapi,” aku menatap sebentar ke Ziyo, ya aku saja baru tahu namanya.
“Kalau mau naik taksi harus ke depan dulu, ke depannya kalau gak naik ojek jalan kaki jauh. Kalau mau dari sini naik angkot tapi kan emang enak naik angkot?” Akela tampak membujukku.
“Hm…” aku mengetukkan jari di ujung hidung.
“TApi gak ada helm cadangan, dan paling Cuma bisa bareng sampai pertigaan, di sana banyak taksi.” Kata Ziyo dari balik helmnya. Aku pun mengangguk dan langsung duduk di belakangnya. Rasanya tanganku sudah sangat gatal saat motor mulai melaju, gatal ingin melingkar di pinggangnya. Cuma hatiku terus-terusan berteriak bilang, jangan!
@@@
Ah, rasanya seperti mimpi di siang bolong. Sudah satu minggu aku selalu memperhatikan bangku belakang itu. Dan siapa tau kalau akhirnya bisa satu motor dengannya. Akela aku harus berterimaksih padamu. Seharian sehabis pulang sekolah tadi rasanya mulutku tak bisa di stop untuk berhenti senyum-senyum.
@@@
Iseng-iseng nanya ke Akela nomer teleponnya Ziyo dan taraa… dapet deh J gak buang waktu aku pun langsung menghubunginya. Awalnya dia gak tau siapa aku, harus dijelasin detail dulu baru ngeh. Aku pun ngucapin makasih karena beberapa hari dulu dia sempet jadi ojek dadakanku. Tapi sikapnya kalau di sekolah biasa aja gak ada sedikit pun respon. Kalau pun nyapa harus aku duluan yang nyapa. Tapi itu mungkin yang bikin aku jadi pensaraan sama dia.
Walau pun sampai detik ini aku belum nemuin something yang bikin aku betah lama-lama ngeliatin dia. Matanya? Biasa aja, cakep, hm… juga biasa-biasa aja. Nothing special! Cuma aku masih aja penasaran gimana raut wajahnya saat tertawa ya, habis sejak melihatnya waktu hari pertama seakli pun belum pernah melihatnya senyum,
@@@
“Ngapain?” aku menepuk pundak Akela, hari minggu ini aku berkunjung ke rumahnya. Sudah dari saat jam makan siang tadi aku di sini samapai sekarang jam menunjukkan pukul tiga sore. Akela sedang berkutat dengan laptop pinknya.
“Chatting,” katanya masih serius menekuni layar laptopnya. Aku tidak begitu tertarik dan lebih suka dengan rak koleksi komiknya Akela.
“Aduh, kebelet.” Sekitar lima menit kemudian, “Aku ke toilet dulu ya Tha,” katanya tanpa mematikkan laptopnya dan buru-buru ke kamar mandi.
Satu menit dua menit, Akela lama juga, jangan-jangan dia buang air besar. Aku pun agak penasaran dengan isi laptopnya yang sekarang sudah ada di mode stand by. Aku menyentuh kursor dan menggerakkanya dan mengaktifkan lagi layar laptopnya. Layar chattingnya masih aktif. Aku pun iseng mulai menelusuri nama-nama yang online. Eh, ada id-nya Ziyo. Aku mengernyit pelan dan membuka jendela chatting dengannya.
Me : Hai…
Jujur, agak gemetar waktu mengetikkan satu kata paling sederhana itu di keyboard. Tapi gak selang dua detik saja.
Ziyo : ya
Hah… dia balas. Ak pun kembali mengetikan sesuatu. Basa-basi lainnya pun berlanjut. Rasanya udah cukup lama tapi Akela belum dating juga aku pun meneruskan chattingku saat merasa dia lebih ramah di dunia maya. Ada yang mau aku tanyakan.
Me : Boleh nanya?
Ziyo : apa?
Me : hm… lo kenal Sitha?
Ya, aku chatting sebagai Akela barusan.
Ziyo : kenapa? Temen lo kan?
Me : ya, hm… menurut lo dia gimana?”
Ziyo : baik
Me : Oia, dia tuh udah lama banget jomblo.
Ziyo : terus?
Me : kok terus sih? Ya udah gak ada terusannya. Lo mau daftar jadi pacarnya
Ziyo : ahaha… ada-ada aja lo
Me : kok ketawa. Bukan tipe lo.
Ziyo : gak
Me : terus lo udah punya pacar?
Ziyo : belum
Me : ya, abisan gue suka kesian aja liat dia jomblo. Gue kira lo bisa bantu.
Ziyo : bantu apa?
Me : ngilangin status jomblonya
Ziyo : wah, sori kayaknya gue gak bisa.
Jariku pun mendadak lemas dan gek bisa menari-nari di keyboard lagi. Aku langsung menutup jendela chat dengan Ziyo dan membuat laptop kembali ke stand by mode-nya. Gak lama Akela dating sambil memegangi perutnya.
“maaf lama, aku diare nih,” katanya sambil meringis. Saat itu aku Cuma mengangguk dari balik sampul komik yang aku pegang. Padahal siapa tahu dibalik itu aku sedang berusaha keras menahan agar beda cair dalam mata tidak menetes. Aku menahan sekuat tenaga. Kalimat chat etarkhir dari Ziyo masih bergelantungan dan membuatku gak nyaman sampai detik ini. wah, sori kayaknya gue gak bisa. Kalimat itu mirip kaset yang terus-terusan di putar ulang oleh otakku. Aku mulai sesenggukkan tanpa suara di balik buku komik yang menutupi wajahku. Rasa apa ini? Seperti ada duri kecil yang banyak sekali dan meyeruak masuk ke dalam hati. Apa ini perasaan ditolak sebelum menyatakan cinta? Apa seperti ini perasaannya?
@@@
Sekarang kau sudah tahu bagaimana rasanya ditolak sebelum menyatakan perasaanmu? Itu lebih buruk dari apa pun kan? Ah, ya setidaknya buatku sekarang. Lalu apa akan ada seseorang yang kembali mengajarkan aku kalau… cinta… perasaan cinta, itu memang indah? Apa akan ada…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar